The Time Travelers Wife (2009)


The Time Travelers Wife

Drama adalah genre cerita favorit gue. Romantis adalah salah satu hal yang dapat menghangatkan hati. Ketika kedua hal tersebut digabungkan, jadilah suatu cerita yang dapat menghadirkan suasana hangat disekitar gue. Begitu teman merekomendasikan novel ‘The time travelers wife’ dengan menyebut 2 kata tersebut, tanpa pikir panjang langsung gue beli. Dan benar saja, novelnya se-drama itu, se-romantis itu.

Begitu tau filmnya akan keluar, tentu saja gue over excited. Ditambah lagi pemerannya adalah Eric Bana dan Rachel McAdams, dua orang yang udah tidak diragukan lagi kualitas aktingnya. Harapan dan ekspektasi gue semakin menjadi, tapi sayang banget film yang seharusnya keluar sekitar bulan Agustus 2009 itu gak keluar-keluar di Indonesia, mungkin masalah di lsf. Namun akhirnya, setelah penantian panjang 6 bulan dari tukang bajakan, gue nonton filmnya.

The Time Travelers Wife bercerita tentang Hendy DeTamble (Eric Bana), seorang pria yang mempunyai masalah genetik sehingga dia bisa menjelajah waktu. Dia menikah dengan Clare Abshire (Rachel McAdams), yang sudah bertemu dan jatuh cinta dengan Henry sejak kecil (karena Henry menjelajah waktu). Konflik di film ini berkisar di kehidupan pernikahan mereka, mulai dari Clare yang sering kesepian karena ditinggal Henry ‘traveling’, sampai dia ingin mempunyai anak namun Henry takut anaknya mempunyai kelainan genetik sama sepertinya.

Ada beberapa bagian di film ini yang kurang deskriptif. Sebagai contoh, alur yang aneh. Loh, kan ceritanya tentang penjelajahan waktu? Iya, tapi tidak dijelaskan kapan waktunya, kalau di novel tertulis dengan jelas tanggal sekian dan jam sekian, tapi tidak di film, kenapa ya? Mungkin karena  film makernya ingin penontonnya sedikit berfikir tanpa disuapi banyak, atau mungkin takut mengurangi estetika ‘drama’ nya. Entah apapun itu, yang jelas sayang sekali karena sebenarnya hal itu diperlukan karena film ini alurnya begitu cepat.

The time travelers wife diangkat dari sebuah novel best-seller karya Audrey Niffenegger. Sama seperti novelnya, filmnya begitu heart warming. Walaupun ada banyak cerita di dalam novel yang tidak dimasukkan ke dalam film, cerita film ini tetap bisa dimengerti dan dicerna dengan baik. Pengembangan cerita di filmnya pun tidak menceritakan novel tapi menceritakan sebuah cerita. Robert Schwentke bisa membangun feel pada filmnya sehingga membuat kita melupakan bagaimana caranya Henry bisa menjelajah waktu, walaupun menurut gue permainan emosinya kurang dapet.

Overall, film yang diproduseri Brad Pitt ini sangat bagus untuk sebuah film adaptasi novel. Tapi, seharusnya gue tidak menaruh ekspektasi berlebih untuk film ini. Bukan berarti gue kecewa, tapi memang film adaptasi novel sangat susah dibuat, apalagi best-seller, pasti bertentangan dengan kemauan fans novelnya. Anyway, film ini sangat gue rekomendasikan, selamat menonton!

My Personal Rate: 7.5/10

Leave a comment