Ketika Film Tak Lagi Bisu

Akhir tahun 20an, industri perfilman dikagetkan dengan penemuan seseorang yang dapat memasukkan suara ke dalam film. Kala itu, semua orang tidak percaya dengan apa yang ditontonnya. Mereka merasa ditipu, mengira aktornya ada di belakang panggung. Tentu saja setelah diberitahu yang sebenarnya, hal ini menjadi sebuah perubahan besar. Semua penonton ingin merasakan sensasi yang sama, semua bioskop membuat sistem audio di tiap teaternya, dan semua studio film berlomba-lomba membuat film bersuara.

Sama halnya dengan Monumental Pictures dan Kinograph Studio, dua studio ini tidak ingin kalah dengan studio lainnya. Monumental Pictures langsung merubah film bisu yang sedang mereka produksi, The Dancing Cavalier, untuk dijadikan bersuara. Sedangkan Kinograph Studio secara drastis mengganti semua aktor film bisu mereka karena sudah tidak menjual jika mereka memainkan film bersuara. Tentu saja ini berakhir menjadi sebuah bencana. The Dancing Cavalier menjadi bahan tertawa para kritik karena selain audionya berantakan juga suara aktrisnya, Lina Lamont, ternyata sangat jelek. Dan George Valentin, salah satu bekas aktor film bisu sukses Kinograph Studio, menderita karena kehilangan pekerjaan.

Buruknya kritik yang diterima 6 minggu sebelum pemutaran filmnya, membuat Don Lockwood, pasangan Lina Lamont di film The Dancing Cavalier, memutar otaknya. Ia tak mau karirnya habis disitu saja. Sama dengan George Valentin, ia tetap membuat film bisu ditengah maraknya film bersuara. Sayangnya nasib mereka berbeda. Don Lockwood dan sahabatnya Cosmo, juga Kathy Shelden sebagai pengisi suara Lina Lamont, membuat The Dancing Cavalier menjadi film musikal yang sukses. Sedangkan film bisu George Valentin anjlok di pasaran, membuat penderitaannya semakin komplit.

Monumental Pictures dan Kinograph studio adalah studio film fiksional dari film Singing in the Rain (1952) dan The Artist (2011). The Artist adalah film bisu yang mendapatkan begitu banyak apresiasi dan penghargaan bergengsi, seperti Best Picture pada Oscar dan Golden Globe kemarin. Sedangkan Singing in the Rain sudah pasti bukanlah suatu kalimat baru yang ada di telinga anda. Kenapa? Continue reading

In The Mood for Love (2000)

Sutradara: Wong Kar-Wai

Aktor/aktris: Maggie Cheung Man-Yuk (Mrs. Chan), Toni Leung Chiu-Wai (Mr. Chow)

Tempat/waktu nonton: Film unduhan/ Mei

It is a restless moment

She has kept her head lowered…

To give him a chance to come closer

But he could not, for lack of courage

Mengambil latar di tahun 1962, film ini bercerita tentang Mrs. Chan yang baru pindah ke sebuah kamar, dan tetangganya yang juga baru pindah, Mr. Chow. Mrs. Chan cantik, disegani banyak pria, namun suaminya sering melancong untuk berbisnis. Mr. Chow baik, bahkan terlalu baik sebagai suami, namun istrinya tidak banyak merasakan kebaikannya karena jarang di rumah. Memiliki kondisi yang sama, Mrs. Chan dan Mr. Chow kemudian berteman dan saling bertukar pikiran mengenai kondisi masing-masing. Lambat laun, cinta pun bersemi. Sayangnya, ketakutan akan isu buruk dan keadaan sekitar memaksa mereka untuk memendam cinta mereka.

Banyak orang yang berkaki gatal dengan alur lambat, saya salah satunya. Untuk menonton sebuah film drama dengan alur lambat, saya harus mempersiapkan mood dan niat yang kuat. Saya pada awalnya tidak tahu kalau alur film ini akan lambat. Namun entah arwah apa yang merasuki saya, kali ini saya mampu melupakan rasa gatal dan meresapi segala yang ada didalam film ini.

Mr. Chow dan Mrs. Chan dalam satu frame

 Secara perlahan-lahan Wong Kar-Wai membuai saya dengan aura manis dan kelembutan alur lambat, membuat hati yang tadinya beku ini sedikit mencair. Kejeniusannya dalam memadukan teknik slow motion dan musik klasik, tidak menjadikan film ini klise, tapi malah menyulapnya menjadi sebuah masterpiece. Gambar yang kebanyakan still (tidak bergerak), tidak terasa membosankan karena yang terlihat adalah sebuah karya seni berestetika tinggi. Ya, disini saya juga memberikan apresiasi terdalam saya kepada Christopher Doyle dan Mark Lee Ping-Bing, sang penata kamera.

 Mr. Chow disebuah kuil. Salah satu adegan yang saya suka.

Belum lagi ceritanya. Walaupun tema pernikahan dan perselingkuhan ini cukup sering diaplikasikan, namun dengan latar negara China tahun 1962 membuat perbedaan rasa. China juga menerapkan adat ketimuran, apalagi di era itu, perselingkuhan merupakan suatu hal yang tabu, ditambah mereka berdua sudah berkeluarga. Betapa suatu hal yang memalukan, sehingga mereka berdua takut dengan kemunculan isu yang tidak enak. Cerita film dibawakan dengan tidak banyak dialog, sehingga penonton bisa dibuat lebih hanyut dalam indahnya teknik slow motion dan estetika gambar. Juga tidak adanya adegan seks dan ciuman dalam film ini membuat film ini semakin terasa manis. Pantas sudah film ini menyabet penghargaan Technical Grand Prize dan masuk dalam nominasi Palm d’Or di Cannes.

Mr. Chow: In the old days, if someone had a secret they didn’t want to share, you know what they did?

Mr. Koo: Have no idea…

Mr. Chow: They went up a mountain found a tree. Carved a hole in it, and whispered the secret into the hole. Then they covered it with mud. And leave the secret forever.

In the mood for love, judulnya sanggup merepresentasikan keseluruhan isi filmnya. Film ini dapat membawa mood saya untuk turut merasakan cinta antara Mr. Chow dan Mrs. Chan, secara perlahan tapi pasti. Kalau kata orang Jawa, alon-alon asal klakon, mungkin untuk Wong Kar-Wai, alon-alon asal jadi masterpiece! Oh iya, di dalam film ini ada lagu Bengawan Solo vesi inggris juga lho. Akhir kata, film ini sangat saya rekomendasikan untuk semua orang yang ingin merasakan manis dan lembutnya drama cinta beralur lambat. Selamat menonton!

 

To Kill a Mockingbird (1962)

Sutradara: Robert Mulligan

Aktor/ Aktris: Gregory Peck (Atticus Finch), Mary Badham (Scout), Phillip Alford (Jem)

Tempat/ Waktu nonton: Film unduhan/ April

*Sebelumnya saya minta maaf sudah lama sekali tidak membuat tulisan baru.*

To kill a mockingbird. Judulnya mungkin tidak aneh untuk penggemar novel. Saya yang bukan pembaca novel sempat merasa lucu dengan judul film klasik ini. Namun, ketika membaca judulnya dalam buku “1001 books: You must read before you die” saya pun berubah pikiran.

Film bersetting tahun 1932 di Alabama ini bercerita tentang Jem dan Scout. Dua bocah bandel kakak beradik ini memiliki ayah seorang pengacara, mereka memanggilnya Atticus. Sebagai orangtua tunggal, Atticus adalah ayah yang baik, Jem dan Scout selalu bergantung kepadanya. Suatu saat Atticus menangani kasus Tom Robinson, warga kulit hitam yang dituduh memerkosa wanita kulit putih, yang membuatnya sendiri memiliki musuh kulit putih. Atticus pun harus melindungi Tom Robinson dan anaknya sendiri dari musuh.

Pertama, ceritanya bersetting di tahun-tahun dimana perbedaan antara kulit putih dan kulit berwarna sangat kental terasa. Depression-era, katanya, menurut wikipedia ini adalah jaman dimana perekonomian dunia sedang turun-turunnya menjelang PDII. Orang kulit hitam digambarkan sebagai budak, orang yang tidak berpendidikan, dan sangat rendah derajatnya di mata orang-orang kulit putih. Tapi ternyata, diantara orang-orang kulit putih yang memandang rendah kulit hitam, masih ada Atticus yang memandang sama semua derajat dan hak asasi manusia.

Atticus: “… But to remember it was a sin to kill a mockingbird

Jem: “Why?”

Atticus: “Well I reckon because mockingbird don’t do anything but make music for us to enjoy, don’t eat people’s gardens, don’t nest in the corn cribs. They don’t do one thing but just sing their hearts out for us.

Kedua, film pemenang Oscar dan Golden Globe tahun 1963 ini memiliki banyak makna tersirat yang patut diambil tidak hanya untuk para ayah dan anak, tapi juga untuk semua keluarga. Ceritanya yang sederhana namun sangat menyentuh bagi saya yang tidak begitu dekat dengan keluarga. Hal yang sama terjadi dengan dialoganya yang penuh dengan makan tersirat. Seperti contohnya dialog antara Atticus dan Jem diatas yang secara tidak langsung memberitahu kita kalau adalah kesalahan besar untuk “membunuh” orang-orang yang tidak melakukan salah apapun kepada kita. Dan itulah sebagian besar makna kenapa judul film ini adalah To Kill A Mockingbird.

cetakan pertama novel To Kill A Mockingbird (1960)

To kill a mockingbird adalah sebuah film keluarga yang wajib ditonton sebagai kiblat menjadi keluarga bahagia. Film ini membuktikan kepada saya yang bukan pecinta novel, bahwa novel pemenang Pulitzer karangan Harper lee  ini memang patut masuk dibaca sebelum mati. Jadi, selamat berburu filmnya 🙂

The Graduate (1967)

Sutradara: Mike Nichols

Aktor/aktris: Dustin Hoffman (Benjamin), Anne Bancroft (Mrs. Robinson), Katherine Ross (Elaine Robinson)

Tempat/waktu nonton: film unduhan/ bulan september

Karena suka dengan film 500 Days of summer, saya selalu penasaran dengan film The Graduate yang ditonton  dan disalah-artikan oleh Tom Hansen (J G Levitt) kecil. Arwah saya semakin penasaran karena film The Graduate adalah salah satu film favoritnya Roger Ebert, kritikus favorit saya. Film klasik memang susah dicari di toko DVD, tapi dengan bantuan teman saya, saya pun akhirnya berhasil mendapatkan film ini.

Film ini bercerita tentang Benjamin, seorang pemuda yang baru saja  menyelesaikan kuliahnya, dan kemudian ia balik lagi ke kampung halamannya. Karena tidak ada kerjaan, Benjamin menjalin hubungan dengan teman ayahnya, Mrs. Robinson. Suatu saat, Benjamin diwajibkan oleh ayahnya untuk bertemu dengan Elaine, anak dari keluarga Robinson. Benjamin kemudian jatuh cinta dengan Elaine, namun percintaan mereka tidak berjalan dengan mulus. Hingga satu hari Elaine meninggalkannya karena hubungannya dengan Mrs Robinson terungkap, Benjamin pun tidak menyerah, ia tetap mengejar cinta Elaine.

Komedi romantis. Komedinya kaku, tapi bukan berarti tawa saya ikut kaku karena tidak lucu. Kaku disini maksudnya karena bahasanya baku (maklum film jadul), entah kenapa jadi terkesan kaku, walau pada akhirnya tetap saja konyol karena tingkah laku bodoh dan muka tolol Benjamin. Satu dialog yang paling terngiang di otak saya adalah, ketika Mrs Robinson menggoda Benjamin, lalu Benjamin dengan muka tololnya bertanya, “are you trying to seduce me Mrs Robinson?

Romantis nya walaupun tidak sampai membuat kita diabetes tapi cukup membuat hati meleleh. Cukup dengan tindakan sampai-matipun-akan-kukejar, didukung dialog-dialog bodoh dan kemampuan akting Dustin Hoffman muda yang ganteng dan memukau, membuat film komedi romantic klasik ini menjadi tua-tua keladi, makin tua makin jadi.

Sekarang saya mengerti kenapa Tom Hansen kecil salah mengartikan film ini. Persepsi saya adalah karena di film ini, walaupun diceritakan Elaine sudah berpisah jauh dari Benjamin, mereka berdua masih dapat bersatu. Tom Hansen kecil tentu saja berfikir bahwa cerita cinta orang dewasa memiliki happy-ending jika mereka sama-sama yakin bahwa pasangannya adalah “the one”, oleh karena itu dia selalu berprasangka bahwa pasangannya pada saat itu adalah “the one”.

Secara keseluruhan, salah satu film favorit Roger Ebert ini patut disaksikan jikalah kalian menyukai film rom-com dan penasaran dengan film rom-com klasik.

My personal rate: 8.5/10

Brazil (1985)

Sutradara: Terry Gilliam

Aktor/aktris: Jonathan Pryce, Kim Greist, Michael Palin, Robert De Niro

Tempat/waktu nonton: film unduhan/ oktober

Saya belum menonton Dr Parnassus. Saya tidak kenal Terry Gilliam sebelumnya. Satu hal yang membuat saya akhirnya tertarik menonton film ini adalah ketika menyaksikan trailernya di youtube. Pada saat itu saya terpukau dengan efek visual yang menakjubkan pada film ini. Yang membuat saya lebih terpukau adalah film ini dibuat di tahun 1985, dimana belum lahir teknologi bernama CGI. Bahkan komputer saja masih jarang dijumpai.

Film yang bersetting di suatu tempat di abad 20-an ini bercerita tentang seorang pria yang bekerja di pemerintahan, Sam Lowry. Ia jatuh cinta kepada seorang kurir bernama Jill. Banyaknya aksi bom dan terorisme di negaranya membuat Sam pun mencurigai Jill adalah seorang kurir bom.

Film ini begitu unik dan lucu di semua aspek. Setting tempat, misalnya. Settingnya dibuat begitu aneh dan unik. Apartemen misalnya, digambarkan dengan bilik-bilik yang bisa dibongkar-pasang, seperti lego. Unik, super unik. Costume? jangan ditanya lagi. Setting yang aneh dan ‘gila’ sudah pasti akan membuat costume-nya ikut menjurus kearah sana. Costume yang paling saya suka disini adalah sepatu hak tinggi motif harimau yang dipakai di kepala. Wah, sembah sujud untuk tim artistik di film ini.

Ceritanya, benar-benar lucu. Penggabungan antara slapstick, humor, dan satire. Penuh dengan kritikan terhadap berbagai aspek mulai dari sulitnya birokrasi pemerintahan, aksi terorisme, perbedaan kelas ekonomi yang timpang, sampai wanita-wanita yang mengoperasi wajahnya demi awet muda. Semua komplit dalam balutan komedi yang tidak diragukan lagi lucunya. Karakter, terlalu brilian. Anti-hero sebagai main character merupakan unsur penting dalam sebuah film komedi (baik slapstick maupun satire). Dengan karakter pendukung yang cukup heroik, sampai yang benar-benar bodoh.

Terry Gilliam memang sungguh dewa. Tepuk tangan, tidak, tepuk pramuka untuk dia. Benar-benar dewa. Namanya langsung saya masukkan ke dalam daftar sutradara favorit saya. Beribu-ribu salut, dan tentu saja saya sangat merekomendasikan film ini untuk ditonton!

Oh iya, satu hal yang paling lucu di film ini adalah judulnya. Brazil tidak menggambarkan tempat dimana film ini berlatar, melainkan adalah sebuah lagu yang menjadi scoring film ini selalu dinyanyikan oleh karakter utamanya.

“Brazil…

Where hearts were entertained in June…

We stood beneath an amber moon…

And softly murmured someday soon…”

My Personal Rate: 9/10

City Lights (1931)

Sutradara: Charlie Chaplin

Aktor/aktris: Charlie Chaplin

Tempat/waktu nonton: DVD/ bulan juni

Charlie Chaplin. Apa yang ada di otak anda ketika mendengar kata tersebut? Komedian sejati? Tidak diragukan lagi. Film bisu? Pastinya. Hitler? Hmm, kumisnya memang mirip sih. Jojon? Hahaha, nice try. Cukup, ayo berhenti, sebelum kita kebablasan. Jujur, saya belum pernah menonton satupun film Charlie Chaplin, sampai ketika teman saya membawa DVD nya dan mengajak menonton film ini. Sebuah film klasik, hitam-putih, produksi tahun 1931, duduk manis di peringkat 68 pada top250 IMDB.

Film ini bercerita tentang kisah cinta Chaplin dengan gadis buta penjual bunga. Gadis itu rupanya sedang kesulitan membayar uang sewa rumahnya. Chaplin yang ingin menolongnya pun mencari cara untuk mendapatkan uang dengan cara yang halal. Suatu saat Chaplin bertemu dengan seorang kaya baik hati, namun karena kurang beruntung, Chaplin disangka ingin mencuri uang orang kaya tersebut.

Tadinya saya berfikir kalau film komedi ini akan membosankan karena bisu tanpa dialog. Tapi ternyata saya salah 100%. Film ini sama sekali tidak membosankan, justru saya sampai menangis tertawa berguling-guling menonton film ini. Tidak berhenti tertawa menyaksikan muka Chaplin yang bodoh dan gerak-geriknya yang terkadang berbahaya namun kocak. Selesai menonton film ini pun saya merasa bugar karena sudah olahraga otot perut.

salah satu adegan bodoh favorit saya

Slapstick. Jenis komedi ini selalu berhasi membuat saya tertawa. Walaupun penuh bahaya, tapi selalu berhasil mengundang tawa. Kalau gagal pun, penonton akan tetap menertawakan kemalangan komediannya. Charlie Chaplin memang terkenal dengan komedi slapstick-nya, seperti misalnya pada film ini, terdapat adegan dimana Ia naik mobil dengan supir mabuk, mobilnya hampir menabrak tiang, atau adegan dimana Ia entah kenapa tiba-tiba ada diatas patung yang lumayan tinggi. Adegan-adegan seperti itu membutuhkan jantung yang kuat untuk para komediannya, terlebih Chaplin terkadang tidak menggunakan stuntman. Satu fakta yang saya suka dari Chaplin adalah sepatu yang dia pakai terbalik kiri dan kanan, walaupun menyakitkan, di setiap filmnya Ia selalu konsisten untuk memakainya terbalik. Hal seperti itulah yang membuat saya kagum dan salut dengan Chaplin, selain karena dia menulis dan menyutradarai filmnya sendiri. Benar-benar seorang komedian sejati.

Secara keseluruhan, film ini benar-benar menendang-nendang rahang saya, dan hampir memutuskan syaraf ketawa saya. Terlebih satu adegan yang selalu saya ingat, dimana adalah adegan paling favorit saya, yaitu adegan di ring tinju, yang walau ditonton berulang-ulang kerasnya ketawa saya tidak pernah berubah. Demi apapun juga anda harus menonton film ini. Jadi, selamat berburu filmnya, dan Selamat Menonton!!

My personal rating: 8/10