Life of Pi (2012); menutup tahun dengan sempurna

lop1

Sutradara: Ang Lee

Aktor/aktris: Suraj Sharma (Pi Patel), Irrfan Khan (Adult Pi Patel), Adil Hussain (Satosh Patel), Rafe Spall (writer)

Siapa sih yang nggak menunggu-nunggu bulan desember 2012? Loh, emang kenapa? Karena banyak sekali film bagus yang rilis di bulan ini, salah satu yang saya tunggu adalah Life of Pi. Walaupun bukan pembaca novelnya, saya sudah berekspestasi kalau film ini akan bagus, kenapa? Trailernya penuh warna! Well at least kalau saya nggak suka jalan ceritanya, saya bisa terkesima dengan warna ajaib yang keluar dari filmnya ya nggak? (pembenaran, padahal emang orangnya gampang ditipu..)

Sama dengan judulnya, film Life of Pi berkisah tentang kehidupan Pi Patel (hmm, gak jauh-jauh ya dari judulnya). Layaknya sebuah biopic, film dibuka dengan kedatangan seorang penulis ke rumah Pi Patel dewasa. Penulis tersebut menanyakan cerita kehidupannya yang katanya sangat menakjubkan, kemudian Pi dewasa pun mulai bernarasi.

Pi Patel adalah anak dari seorang pemilik kebun binatang di India. Dibesarkan di keluarga India modern yang tidak berpegang pada sebuah kepercayaan, Pi kecil penasaran dan mencoba hampir semua agama. Suatu hari ayahnya memutuskan untuk pindah ke Kanada bersama dengan keluarga dan hewan-hewan di kebun binatangnya. Namun naas, kapal laut yang mereka tumpangi akhirnya tenggelam dan hanya Pi seorang yang selamat dengan naik sekoci. Ternyata ia tidak seorang diri di sekoci tersebut, ia ditemani oleh seekor zebra, hyena, orangutan, dan macan Bengal bernama Richard Parker.

Perjalanan Pi Patel mengarungi samudra menjadi sebagian besar isi di film ini. Saya memprediksikan flow filmnya akan turun disini, karena cerita dan tempatnya akan monoton, di tengah laut. Biasanya, jika sudah merasakan flow seperti ini saya akan cepat mengantuk. Tapi hal itu tidak terjadi, malahan untuk berkedip pun rasanya mustahil. Mata saya seperti ditelanjangi oleh permainan visual di film ini, disetubuhi oleh warna-warna indah yang bisa membuat jantung berdegup kencang. Ah, peduli setan kalau ini hanyalah grafis komputer, pikir saya. Sensasinya seperti surga. Sepanjang tengah film pun saya berteriak dengan penuh gairah. (heh, ini nulis review apa bikin cerita bokep sih?)

Kembali ke visualisasi. Dulunya cuma ada 1 visual film yang bisa membuat mata saya yang sipit ini melotot dan membuat mulut saya berdecak kagum setiap detiknya, yaitu The Fall. Sekarang The Fall tidak lagi sendirian, film ini menemaninya. Bedanya, The Fall memang sebuah film dengan landscape asli yang nyaris tidak menggunakan efek CGI. Walaupun efek visual The Life of Pi hampir semuanya full CGI (bahkan sampai hewannya juga), tapi grafisnya sangat mulus dan rapi sehingga terlihat begitu nyata. Dan saya pun beruntung memilih menonton film ini dalam format 3D (sayang, pas nonton layar bioskop nya agak kecil, pasti bakal lebih maksimal kalau di imax).

lop2

Ekspektasi saya diawal benar, mata saya sudah terkesima dengan visualisasinya. Lalu bagaimana dengan jalan ceritanya? Ceritanya sendiri tidaklah baru, melainkan adaptasi dari sebuah novel karangan Yann Martel yang berjudul sama. Dan untuk sebuah film adaptasi, menurut saya film ini tergolong sempurna. Pertama, karena tidak ada alur cerita yang bolong. Berbagai konfliknya dibungkus dengan manis, sehingga sepanjang film tidak akan muncul pertanyaan “lah kok jadi begini?” atau “kenapa tiba-tiba begitu?”. Kedua, dari segi penyutradaraan. Ketika menonton, saya merasa seperti sedang dituturkan sebuah dongeng yang dapat mengajak saya ikut bermain didalamnya. Ang Lee, yang pernah mendapat award Best Director di Academy Awards untuk film Brokeback Mountain, memang pilihan tepat untuk menyutradarai film ini (untungnya Fox tidak jadi menggunakan jasa M Night Shyamalan, coba kalau dia, pasti filmnya berantakan dan flop di pasaran *negative thinking*).

Selanjutnya, yang ketiga, adalah bagaimana film ini membuat penontonnya berfikir. Menurut saya banyak analogi pada cerita ini, mulai dari kepercayaan akan adanya Tuhan, agama yang universal, takdir, sampai analogi antara manusia dan binatang. Saya tidak tahu bagaimana penggambaran di novelnya, tapi semuanya terpapar jelas di filmnya. Dan keempat, sentuhan moral yang saya dapat. Jika diamati dengan seksama, film ini mengajarkan kita tentang ‘hidup’, misalnya tentang cinta, perpisahan, keraguan, move on, dan sebagainya. Oiya, di film ini juga banyak quotes yang menarik tentang kehidupan.

In the end, saya keluar bioskop dengan perasaan hangat dan senyuman puas. Juga mata yang masih terkesima dengan keindahan visualnya. Menurut saya film ini adalah salah satu film terbaik di 2012 dan dapat menutup tahun 2012 dengan sempurna. Loh kan 2012 belum habis? Ya benar, film yang rilis di bulan desember masih banyak, tapi saya yakin tidak ada yang memberikan keindahan selengkap ini. Tentu saja saya sangat merekomendasikan film ini untuk kalian tonton. Bukan! saya memaksa kalian untuk menontonnya! Dan jangan lupa untuk nonton yang 3D!

All of life is an act of letting go but what hurts the most is not taking a moment to say goodbye.” – Pi Patel

lop3

Sang Penari (2011); menari-nari di dalam emosi

Sutradara: Ifa Isfansyah

Aktor/aktris: Prisia Nasution (Srintil), Oka Antara (Rasus), Slamet Rahardjo (Dukun Ronggeng), Lukman Sardi (Bakar), Tio Pakusadewo (Sersan)

Tempat/waktu nonton: Bioskop/ November

**Bukan, ini bukan film tarian sampah seperti arwah goyang karawang atau pocong mandi goyang pinggul. Jangan takut, baca dulu lalu tontonlah.**

Film Sang Penari bekisah tentang kisah cinta Srintil dan Rasus, dua anak muda dari Desa Dukuh Paruk, dengan latar belakang budaya daerah dan rezim komunisme. Srintil, yang sejak kecil ingin menari ronggeng, akhirnya mengetahui kewajiban dan tanggung jawabnya setelah berhasil menjadi penari ronggeng. Rasus, teman Srintil sedari kecil, tidak menyukai Srintil menjadi penari ronggeng dan memilih pergi dari desa untuk menjadi seorang tentara.

Disisi lain, ada seorang pemuda termodernisasi bernama Bakar yang mempunyai tujuan untuk ‘memerahkan’* Dukuh Paruk. Seluruh warga desa yang buta aksara pun tanpa sadar sudah ‘dimerahkan’. Ketika TNI melakukan pembasmian terhadap oknum-oknum PKI, Dukuh Paruk pun terkena imbasnya. Mengetahui hal itu, Rasus pun langsung mencari keberadaan Srintil.

Ada tiga hal yang saya cermati di film ini. Pertama tentu jelas ceritanya, yang terinspirasi dari novel karya Ahmad Tohari yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk. Balutan drama percintaan dengan latar waktu bersejarah memang tidak pernah tidak menarik. Tidak percaya? Lihat saja Casablanca, Atonement, Titanic, atau produksi dalam negeri, Ruma Maida dan Tanda Tanya. Selain itu, cerita ini juga memasukkan unsur budaya, mulai dari tarian ronggeng, bakar sesajen, sampai adat buka kelambu. Paduan dua unsur tersebut dapat menyutikkan steroid pada sebuah kisah cinta sederhana, membuat seluruh jalinan cerita berjalan rumit dan mengharukan. Luar biasa! Salut untuk Salman Aristo, Ifa Isfansyah dan Shanty Harmayn, trio maut penulis skenario.

Hal kedua adalah sinematografi, dan artistik. Berkali-kali saya berdecak kagum mengganggu penonton di sebelah saya hanya karena sudut pengambilan gambar yang dramatis ditambah lokasi menarik yang entah ada dimana. Kalau ditanya adegan mana yang paling dramatis saya tidak bisa menjawab, yang pasti salah duanya adalah adegan terakhir dan ketika Rasus kecil melihat hiruk pikuk warga desa (memperlihatkan banyaknya kaki yang berlarian dan muka Rasus yang sedih pada satu frame). Kalau dari segi lokasi tentu favorit saya adalah bunker dan rel kereta.

Akting adalah hal ketiga, tetapi tidak berarti urutan ketiga. Banyaknya pemain film berkualitas di film ini membat saya tidak perlu menceritakan semuanya, hanya dua pemain utama saja. Menurut saya, Oka Antara sudah berhasil memerankan pria lugu bermata sayu dengan logat jawa yang kental. Wajar saja karena dia sudah lama berlalu-lalang di perfilman Indonesia. Yang membuat saya jungkir balik adalah Prisia Nasution. Awalnya saya ragu karena dia adalah pemain ftv, yang bisa dibilang hanya membutuhkan kemampuan akting yang standar, tapi ternyata dia bisa membuktikan kalau kemampuan aktingnya memang jauh dari kata itu. Jika ditanya apa perannya di film ini maka saya akan menjawab nakhoda kapal. Berperan sebagai penari ronggeng yang tersiksa karena kewajibannya serta seseorang yang menginginkan cinta dan merindukan kekasihnya, ekspresi dan aktingnya berhasil membuat saya ikut tersiksa. Ditambah kehebatannya untuk berakting ketika harus telanjang dada dan beradegan ranjang, sudah seharusnya dia mendapatkan piala FFI.

Poin tambahan untuk musiknya. Walaupun saya tidak terlalu mengerti, tapi padanan musik tradisional dengan biola menambah kesan haru untuk film ini. Poin tambahan lagi untuk Happy Salma. Sebagai pemeran tamu dia sangat berhasil mencuri atensi penonton selama 10 menit awal.

Kekurangan? Hilangnya sebuah cerita sebelum ending. Cerita yang mengaitkan adegan pada rel kereta dengan pertemuan kembali Rasus dan Srintil. Hal ini membuat pertemuan kembali mereka berdua terlihat sebagai suatu ketidaksengajaan. Namun terlepas dari hilangnya sebuah cerita, ending film ini tetaplah merobek-robek perasaan saya.

Beribu-ribu terimakasih untuk Ifa Isfansyah yang telah menyatukan cerita, sinematografi, artistik, akting, dan musik dalam sebuah film yang telah mempermainkan emosi saya. Membuat saya mengeluarkan kata-kata kasar untuk sebuah pujian. Membuat saya betah menahan kencing selama hampir 2 jam. Serta membuat saya malu karena harus menangis di dalam bioskop (terakhir kali saya menangis di bioskop ketika Mufasa meninggal). Dia berhasil membuat saya berfikir ternyata masih banyak harapan untuk film Indonesia.

*merah: julukan untuk partai komunis (pada jaman itu)